
LOMBOKita – Tahun 2020 hingga awal 2023 Indonesia mengalami fenomena cuaca dan iklim global yang unik yaitu Fenomena Triple Dip La Nina. Disebut demikian karena fenomena La Nina yang lazimnya terjadi lima tahun sekali kemarin aktif selama tiga tahun berturut-turut. Hal tersebut menyebabkan peningkatan curah hujan yang cukup signifikan di wilayah Indonesia khususnya di Nusa Tenggara Barat. Pada kenyataannya fenomena Triple Dip La Nina bukanlah kali pertama terjadi. Beberapa puluh tahun lalu, data menunjukkan fenomena Triple Dip La Nina juga pernah terjadi dengan kekuatan yang berbebeda-beda.
Bagaimana data mencatat fenomena Triple Dip La Nina? Seberapa besar pengaruh Triple Dip La Nina terhadap peningkatan curah hujan di NTB? Dan apakah benar fenomena tersebut sudah dinyatakan berakhir?
Catatan Sejarah Fenomena ENSO (El Nino, La Nina, dan Triple Dip La Nina)
Fenomena ENSO atau El Niño-Southern Oscillation adalah fenomena interaksi antara laut dan atmosfer yang terjadi secara berkala tetapi tidak teratur. Fenomena ini terbagi menjadi fenomena El Nino yang umumnya menyebabkan pengurangan curah hujan di wilayah Indonesia bagain tengah hingga timur, fenomena La Nina yang menyebabkan peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia bagian tengah juga hingga timur, dan yang ketiga adalah kondisi Normal/Netral.
Peningkatan ataupun pengurangan curah hujan tersebut biasanya dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya fenomena tersebut. Semakin kuat El Nino/La Nina maka dampaknya juga akan meningkat.
Fenomena ini dipantau melalui anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik Timur. Suhu permukaan laut yang panas di Samudera Pasifik Timur atau anomali positif mengindikasikan fenomena El Nino. Sedangkan Ketika permukaan laut Samudera Pasifik bagian Timur dingin atau anomali negatif mengindikasikan fenomena La Nina. Pemantauan suhu muka laut tersebut berdasarkan data yang ada sudah ada sejak tahun 1950. Pada tahun 1950 hingga 1980 fenomena El Nino/La Nina umumnya terjadi berulag 5 hingga 7 tahun sekali dimana diantaranya itu suhu permukaan laut Samudera Pasifik bagian Timur umumnya Normal/Netral.
Tetapi pada periode 40 tahun terakhir yaitu mulai tahun 1980 hingga 2020-an pengulangan fenomena El Nino/La Nina terjadi lebih cepat yaitu 2 hingga 3 tahun sekali. Sehingga jika melihat pada data pada 40 tahun terakhir ini kejadian El Nio/La Nina cenderung lebih banyak terjadi dengan intensitas yang cenderung semakin meningkat terutama pada saat El Nino. Jumlah kejadian yang tercatat selama 40 tahun terakhir ayaitu 15 kejadian La Nina dengan 5 fenomena La Nina kuat, serta 14 kejadian El Nino dengan 4 fenomena El Nino kuat.
Mengerucut pada fenomena Triple Dip La Nina, faktanya fenomena tersebut juga pernah terjadi puluhan tahun lalu. Pada tahun 1954-1955-1956 fenomena Triple Dip La Nina pernah terjadi dengan Lemah menuju Moderate dan Kuat pada tahun 1955. Selang 20 tahun Triple Dip La Nina kembali terjadi pada tahun 1973-1974-1975 dengan intensitas Moderate hingga Kuat. Pada akhir tahun 90-an fenomena ini kembali terjadi yaitu di tahun 1998-1999-2000 dengan intensitas Moderate hingga Kuat. Kemudian fenomena Triple Dip La Nina terakhir yaitu pada tahun 2020-2021-2022.
Pengaruh Fenomena Triple Dip La Nina Terhadap Curah Hujan
Pada tahun 2020 peningkatan curah hujan bulanan di wilayah NTB terjadi pada akhir tahun yaitu pada bulan Oktober hingga Desember dimana memang permulaan fenomena La Nina pada akhir September dengan intensitas Lemah dan menuju Moderat di akhir tahun 2020. Pada bulan Oktober 2020 prosentase peningkatan curah hujan terbesar terjadi di Pos HujaN Wera dimana rata-rata hujan bulanannya hanya 9 mm/bln dan meningkat menjadi 55mm/bln.
Pada bulan November prosentase kenaikan terbesar terjadi di pos hujan Maluk yang memiliki rata-rata178 mm/bln dan pada tahun 2020 mengalami curah hujan 525 mm/bln. Bulan Desember pos hujan Donggo memiliki curah hujan rata-rata bulanan 299 mm/bln, dan pada tahun 2020 menjadi pos hujan dengan curah hujan tertinggi di bulan Desember dengan curah hujan tercatat 937 mm/bln.
Tahun 2021 peningkatan curah hujan semakin terlihat signifikan jika dibandingkan dengan rata-ratanya. Contohnya saja di awal tahun 2021 Pos hujan Donggo kembali mengalami peningkatan curah hujan menjadi 909 mm/bulan dimana rata-ratanya hanya 363 mm/bulan. Pada bulan Februari pos hujan Sembalun yang mengalami peningkatan curah hujan mencapai 910 mm/bulan dengan rata-rata hanya 484 mm/bulan. Pada bulan-bulan musim kemarau juga terlihat perbedaannya dimana umumnya pos-pos hujan di NTB tidak mencatat adanya kejadian hujan tetapi pada tahun 2021 masih ada hujan yang tercatat.
Pada bulan Agustus 2021 masih ada hujan yang tercatat dan mencapai 192 mm/bulan di pos hujan Cakranegara yang rata-rata bulanannya hanya 22 mm/bulan. Juga pada pos hujan Sekongkang di bulan Desember 2021 tercatat curah hujan mencapai 829 mm/bulan dengan rata-rata bulanan hanya 367 mm/bulan.
Tahun 2022 kenaikan curah hujan tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan tahun 2021. Curah hujan tertinggi di tahun 2022 tercatat di pos hujan Lenangguar sebesar 809 mm/bulan yang tercatat pada bulan November 2022 dengan rata-rata bulanan hanya 187 mm/bulan. Curah hujan yang cukup tinggi juga terjadi di pos hujan Mantang pada bulan Oktober 2022 sebesar 715 mm/bulan dengan rata-rata bulanannya hanya 161 mm/bulan.
Berdasarkan data, mudim kemarau 2022 juga terlihat cukup basah. Pada bulan Mei dan Juni curah hujan bulanan rata-rata 2022 di 125 pos hujan masih lebih dari 100 mm/bulan sedang secara normalnya rata-rata bulan Mei hanya 60 mm/bulan. Begitupula pada bulan Juni, curah hujan bulanan rata-rata 2022 di 125 pos hujan sebesar 80 mm/bulan sedangkan normalnya hanya 40 mm/bulan.
Dampak dari fenomena Triple Dip La Nina cukup signifikan dirasakan di wilayah NTB salah satunya adalah kenaikan curah hujan. Walaupun memang tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan curah hujan tidak serta merta di sebabkan oleh fenomena La Nina saja, melainkan ada faktor lain yang menjadi penyebabkanya seperti Siklon Tropis atau MJO (Madden Julian Oscillation). Akan tetapi kejadian La Nina yang terjadi berturut-turut juga memberikan dampak kondisi curah hujan di Atas Normal.
Berakhirnya Triple Dip La Nina
Berdasarkan monitoring dinamika atmosfer yang terpantau setiap sepuluh harian (dasarian). Pada dasarian I Maret 2023 suhu muka laut di wilayah perairan Pasifik Timur menunjukkan kondisi Normal/Netral. Dimana sebelumnya pada bulan Desember-Januari- Februari La Nina masih aktif walaupun berada pada fase lemah dan menuju fase peluruhannya hingga akhirnya masuk ke fase Normal/Netral. Sehingga dapat dikatakan bahwa fase Triple Dip La Nina dinyatakan berakhir.
Sedangkan pada pertengahan tahun 2023 terdapat peluang 50% sampai 60% kondisi Normal/Netral akan beralih ke fase El Nino. Sehingga perlu diwaspadai dampak iklim di musim kemarau yang diprediksi akan lebih kering dibandingkan tahun sebelumnya (pada fase Triple Dip La Nina).
Masyrakat harus mewaspadai adanya potensi kekeringan secara meteorologis serta dampak lainnya seperti kebakaran hutan ataupun krisis air bersih. Perlunya Kerjasama antar BMKG, Pemerintah Daerah, BPBD, dan masyarakat untuk kegiatan mitigasi kekeringan di musim kemarau dengan memanfaatkan masih adanya potensi hujan hingga saat ini dengan mengisi waduk, embung ataupun tempat penyimpanan air lainnya. /**