
Dewasa ini, agama seakan menjadi sebuah nama yang terkesan keras, kasar dan sangat kejam, karena umat yang beragama terkesan banyak yang ganas dan tampil dengan wajah kekerasan sehingga membuat gentar, menakutkan dan mencemaskan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bermunculan konfik-konflik antaragama, intoleransi dan kekerasan atas nama agama, sehingga realitas kehidupan beragama yang muncul adalah sikap saling mencurigai, kesalahpahaman, tidak percaya yang pada akhirnya akan berujung pada kehidupan yang tidak harmonis.
Dakwaan terhadap agama memang sulit dibantah sebagai pemicu konflik-konflik sosial tersebut selain juga sebagai sumber kekerasan yang terjadi, baik inter dan antar umat beragama. Sejarah mencatat banyak pertumpahan darah atas nama agama, konflik-konflik tersebut merupakan buah dari tidak adanya kesaling-pahaman antara satu sama lain, yang semestinya terwujud dalam sikap toleransi.
Selain itu, bumi sejatinya dapat dijadikan sebagai tempat yang damai penuh nikmat bagi manusia, mata’un ila hiin. Namun, ini tergantung kepada manusia itu sendiri, apakah mau hidup rukun dan damai ataukah sibuk dengan konflik dan pertikaian. Agama, sebagaimana disebutkan di atas merupakan salah satu faktor yang berkontribusi nyata dalam menciptakan atmosphere suasana kehidupan manusia.
Agama, dalam perspektif sosiologis menurut Casram (2016), memiliki peran dan fungsi ganda, baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif. Maksudnya adalah, peran agama secara konstruktif akan membuat ikatan agama menjadi lebih ketat, bahkan sering melebihi ikatan darah dan hubungan nasab atau ketururnan. Maka karena agama, sebuah komunitas atau masyarakat akan hidup dalam kerukunan dan kedamaian yang utuh dan bersatu. Sebaliknya, secara destruktif, agama juga mempunyai kekuatan merusak, memporak-porandakan persatuan dan bahkan dapat memutus ikatan tali persatuan. Hal tersebut menjadikan suatu konflik yang berlatar belakang agama sulit diprediksi kesudahannya.
Terlepas dari fungsi ganda di atas, setiap manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat multiagama pasti mendambakan suasana damai dan rukun. Kehidupan sosial masyarakat yang terbentuk atas dasar multikultural dan memiliki semangat hidup damai dalam kemajemukan akan menjadi mungkin apabila semua masyarakat mampu mengakomodasi perbedaan dan keragaman tersebut, sehingga toleransi agama menjadi sebuah keniscayaan sebagai upaya untuk menjamin stabilitas sosial dari tuntutan ideologis ini. Kehidupan sosial dan agama hendaknya tidak tersisih satu sama lain dan musti terintegrasi ke dalam satu kesatuan yang utuh.
Toleransi beragama merupakan realisasi dari ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk komunitas. Ekspresi pengalaman keagamaan dalam bentuk kelompok ini, menurut Joachim Wach dalam Casram (2016) merupakan tanggapan manusia beragama terhadap realitas mutlak yang diwujudkan dalam bentuk jalinan sosial antarumat seagama ataupun berbeda agama. Dengan kata lain, manusia beragama tidak bisa menafikan bahwa mereka harus bergaul bukan hanya dengan kelompok mereka sendiri, namun juga dengan komunitas-komunitas dari agama yang lainnya, hal tersebut sebagai bentuk akomodasi dalam interaksi sosial, Ali Mukti (1972)
Di dalam ajaran agama Islam sendiri, menurut Muhammad Yasir (2014), toleransi merupakan bagian dari visi teologi atau akidah islamiah dan masuk dalam sistem teologi Islam. Hal ini sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan beragama, karena ia merupakan suatu keniscayaan sosial bagi seluruh umat yang sudah memiliki kepercayaan penuh dalam dirinya sebagai makhluk Tuhan yang memiliki keimanan seutuhnya.
Toleransi agama yang ideal selayaknya harus dibangun oleh pertisipasi aktif semua anggota masyarakat beragama yang hidup dalam kemajemukan guna mencapai tujuan-tujuan yang sama atas dasar kebersamaan, rasa hormat dan saling memahami terkait pelaksanaan ritual dan doktrin-doktrin tertentu dari masing-masing agama. Beragam rumusan tentang tipologi hubungan antar agama seperti eksklusifisme, inklusifisme, pluralisme dan lain sebagainya sering dikemukakan untuk membawa keragaman ini ke tahap dialog harmonis agama yang lebih intensif.
Tulisan ini mengingatkan agar penghayatan dan praktik keagamaan tidak berhenti pada tahap klaim eksklusifisme AKU yang berujung pada hubungan personal dengan Tuhan (soliter), tidak juga pada tahap inklusifisme KAMU dengan perhatiannya pada perekrutan dukungan teologis atau ideologis (solidaritas), melainkan pada tahap keterbukaan KITA, dimana penghayatan religius atas nilai-nilai kemanusiaan mendapat penekanan (humanis).
Dalam tulisan yang sangat singkat dan sederhana ini dikemukakan tentang implementasi toleransi keberAgamaan di dalam masyarakat multikultural dari sudut pandang ajaran agama Islam, dengan tujuanagar kehidupan beragama dapat terbina secara harmonis. Selain itu, tulisan ini juga bermaksud untuk memperkaya khazanah intelektual, khususnya kajian sosial historis dan praktis yang menekankan bahwa kajian toleransi beragama tidak semata-mata dimunculkan sebagai isapan jempol, tetapi lebih dari itu, yakni untuk menggugah perasaaan dari setiap pemeluk agama agar mau mendambakan kehidupan yang rukun dan harmonis.