LOMBOKita – Persereoan Terbatas Garam (Persero) memproyeksikan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat sebagai lokasi produksi garam nasional karena memiliki syarat yang dibutuhkan.

Sekretaris Perusahaan PT Garam Hartono di Medan, Minggu, mengatakan, tidak semua pantai dapat menjadi lokasi produksi garam karena memenuhi kriteria yang cukup banyak.

Pantai tersebut harus memiliki kecepatan angin minimal 2-3 meter per detik, curah hujan maksimal 1.200 mm per tahun, serta kelembaban lokasinya maksimal 70 persen. Kemudian, temperatur kawasan pantai terserbut minimal 31 derajat celsius, kondisi tanahnya harus landai dengan kemiringan minimal tiga persen, dan tidak menyerap air.

“Jadi, air laut yang diletakkan di tempat itu tidak habis,” katanya.

Syarat lain, kata Hartono, sumber air laut di pantai itu minimal 2 derajat boume, yang berarti satu liter air laut harus mengandung garam minimal 20 gram.

Minimal musim kemaraunya juga minimal 4,5-5 bulan per tahun. “Makanya di Jawa itu sudah tidak bisa lagi, sudah maksimal, lahannya sudah digunakan,” katanya.

Karena itu, PT Garam mulai mengarah ke Indonesia bagjan timut, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Pihaknya sudah melakukan proyek percontohan (pilot project) di Desa Pipolo, Kecamatan Sulamo, Kabupaten Kupang, NTT di areal seluas 400 ha.

Secara koordinat dan dilihat dari garis lintang, kawasan yang menjadi proyek percontohan itu mendekati Australia dengan musim kemaraunya berkisar 7-8 bulan.

Dengan kondisi itu, proyek percontohan tersebut dalam memiliki produktivitas yang tinggi. “Di Jawa, produktivitasnya 80-90 ton per ha, disana bisa 100-120 ton per ha,” ujar Hartono.

Ia menambahkan, PT Garam berupaya untuk mengembang lagi produksi garam tersebut di kawasan Teluk Kupang dengan lahan sekitar 5.000 ha di lahan hak guna usaha (HGU) yang masih dalam masa tenggang.

Pihaknya mendapatkan informasi jika ada lahan seluas 3.720 ha milik PT Panggung Semesta dengan HGU selama 35 tahun yang belum diusahakan sama sekali sejak tahun 1992.

Pihaknya sedang melakukan pendekatan kepada pemerintah supaya lahan yang tidak kunjung diusahakan iti dinyatakan sebagai tanah terlantar sehingga dapat dikuasai negara kembali.

“PT Garam mau mengelola itu. Kalau ada saja lahan 4.000 dengan produksi 100 ton, berarti akan ada produksi 400 ribu ton garam,” katanya.

Potensi lain yang dapat dijadikan lokasi produksi garam berada di balik Teluk Kupang dengan lahan seuas 30 ribu ha sehingga bisa mewujudkan rencana PT Garam untuk ingin mencetak 10 ribu ha lahan produksi garam hingga tahun 2020.

“Di Kupang ada 4.000 ha, Sumba Tengah dan Sumba Timur 4.000 ha, Pulau Rote 2.000 ha, berarti sudah ada 10.000 ha. Kalau minimal saja 1 ha memproduksi 100 ton, berarti ada satu juta ton garam yang kita dapatkan di NTT, belum lagi di NTB, itu bisa meminimalisasi impor,” katanya.

Rencana dan program tersebut telah sampai ke Wapres Jusuf Kalla yang memerintahkan Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan sebagai koordinator dalam menjalankan rencana itu.

“Besok Senin (28/8), kita akan melakukan rapat terbatas untuk membahas ini,” kata Hartono.