Lalu Pangkat Ali, SIP / foto: Ist

LOMBOKita – Dalam proses berbudaya, beradat istiadat, menjalankan hidup dan kehidupan, bagi orang Sasak diperlukan sebuah konsep pembelajaran, tuntunan dan tuntutan. Tujuannya, sebagai orang Sasak (penduduk asli yang mendiami Pulau lombok) agar menjadi orang yang berkarakter dan berjati diri Sasak dalam nemahami Islam yang Rahmatan Lil Alamin.

Salah satu konsep dan tuntunan itu adalah, Panca Awit Pinajaran Sasak. Konsep ini lahir dari seorang budayawan kondang H. Lalu Anggawa Nuraksi. Bahkan konsep ini sering disampaikan pada setiap kali dilakukan pertemuan formal seperti sarasehan, seminar, temu adat dan lainnya. Yang terakhir, konsep ini disampaikan pada gelaran Studium General dalam rangka Haul Almagfurullah TGH. Ridwanullah At-Tauhidy dan hultah ke-30 Ponpes Darussalam Gerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Secara substantif, saya beberapa waktu lalu sempat menyambangi kediaman H. Lalu Anggawe di Gerung. Bersyukur pertemuan kami ini tidak ada aral berarti. Selain karena kami telah saling mengenal lama, tapi juga sebelumnya melakukan contact person, berjanji akan melakukan pertemuan.

Dalam. Percakapan yang lumayan lama, dipaparkan Panca Awit Pinajaran Sasak adalah, lima dasar yang memberikan pembelajaran dan tuntunan kepada orang Sasak, bagaimana orang Sasak itu berbudaya dan beradat-istiadat dalam menjalankan hidup dan kehidupannya sebagai makhluk yang bertuhan, bertradisi dan beragama. Panca Awit Pinajaran Sasak ini, sekligus sebagai alat kontrol, sebagai pedoman bagi orang Sasak. Karena di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur kearifan lokal orang Sasak yang diwarisi secara turun temurun.

Menurut Mamiq Anggawe (sapaan akrab H. Lalu Anggawe Nuraksi, dalam perjalanan sejarah peradaban Sasak, Panca Awit Pinjaran Sasak pada abad ke-13 sampe 17, per H membawa orang Sasak ke tingkat peradaban yang sejajar dengan komunitas atau bangsa-bangsa lain di dunia. Keberadaan peradaban Sasak, mulai suram sejak masuknya penjajah di Pulau Lombok. Selama masa penjajahan, Panca Awit Pinajaran Sasak tidak boleh diajarkan kepada bangsa Sasak. Kalau toh diajarkan, hanya boleh bagi orang orang Saaak yang menjadi kaki tangan penjajah, nmun maknanya diputarbalikkan untuk kepentingan penjajah itu sendiri.

Norma-norma yang Adiluhung pada Panca Awit Pinajaran Sasak haruslah kembali disosilisasikan, diajarkan, mendudukkan kembali budaya dan adat istiadat Sasak pada makna dan proporsinya sebagai penumbuhsuburan syi’ar agama.

Dengan penghayatan dan pengamalan kembali secara benar norma-norma kearifan lokal yang terkandung dalam Panca Awit Pinajaran Sasak. Diharapkan karakter dan jati diri sebagai orang Sasak tegak kembali, bangkit kembali untuk mengejar ketertinggalan, menjadi komunitas yang berbudaya, berkebudayaan dan berperadaban sejajar dengan suku bangsa lain di dunia.
Secara rinci dipaparkan oleh Wali Paer Bat (Lombok Barat) pada Majelis Adat Sasak (MAS) gumi paer Sasak Lombok ini, dalam Panca Awit Pinajaran Sasak ini, tercantum lima dasar konsep yang memberikan pembelajaran dan tuntunan bagi orang Sasak.

Ke lima dasar itu adalah, bagaimana orang Sasak ber-Tuhan, ber-Tradisi, ber-Agama, ber-Budaya dan ber-Adat-istiadat.

Dalam berTuhan, orang Sasak juga mengimplikasikan lima dasar sebagai sandarannya. Pertama, Tuhan bagi orang Sasak, adalah satu-satunya dzat yang maha kuasa atas diri dan alam semesta ini. Kepada-Nya orang Sasak berserah diri. Keyakinan adanya Tuhan bgi orang Sasak merupakan hal yang sangat mendasar. Kedua, kepatuhan orang Sasak kepada Tuhan, tercermin dalam berbagai aspek kehidupannya, baik dalam berbudaya mauoun adat istiadatnya. Ketiga, pengenalan dan penghayatan akan adanya Tuhan, pada orang Sasak tidak semata-mata karena masuknya agama. Orang Sasak sudah mengenal agama.

Akibatnya, orang Sasak sekarang ini menjadi lemah karakternya, tidak kuat jati dirinya, cepat terpengaruh, selalu dalam kebimbangan, kurang percaya diri, pengekor tanpa dasar yang kuat, rendah diri di hadapan bangsa-bangsa atau komunitas lain.

Lemahnya karakteristik kesasakan dan jati dirinya, bukan saja terjadi pada masyarakat awam, namun sudah merasuk juga pada lelaku-pelaku budaya, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama. Bahkan merasuk kaum intelektual Sasak yang ada di lembaga-lembaga pemerintah, pendidikan, hukum dan lainnya. Secara sadar maupun tidak sadar, karakteristik dan jati diri kesasakannya sudah mulai menipis. Dan kalau saja tidak segera disadari dan diklarifikasi tentu pada akhirnya akan menjadi punah.

Mamiq Anggawe mencermati keadaan itu.
Demikian juga, orang Sasak dalam bertradisi. Memiliki lima dasar. Memiliki lima dasar dalam berpola pikir. Yang pertama, tradisi pada orang Sasak difahami sebagai petunjuk Tuhan yang diberikan kepada manusia secara langsung sebelum seseorang itu terkena syi’ar agama. Kedua, orang Sasak dikenal sebagai komunitas yang patuh pada tradisi. Ketiga, tradisi Sasak mengajarkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidup dalam tiga asfek yaitu, asfek hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Keempat, setelah agama datang di Lombok, tradisi dijadikan sebagai sarana menumbuhsuburkan syi’ar agama. Dan kelima, tradisi pada orang Sasak, telah menjadi salah satu unsur dalam pembentukan karakter dan jati diri orang Sasak dalam hidup dan kehidupan.

Orang Sasak sudah mengenal dan menghayati adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai aqidahnya, jauh sebelum agama masuk ke Lombok dengan menyebutnya “Nenek Kaji Saq Kuase“. Keempat, dalam sejarahnya orang Sasak dikenal sebagai salah satu komunitas yang memiliki peradaban monotisme tua di dunia. Kelima, penghayatan yang dalam akan norma-norma ketuhanan ini, menjadi salah satu unsur pembentukan karakter dan jati diri orang Sasak dalam hidup dan kehidupannya.

Dalam beragama pun menganut lima unsur. Pertama, dalam Pinajaran Sasak, agama dipahami sebagai petunjuk Tuhan yang diberikan kepada manusia melalui perantara, memiliki kitab suci dan ada umat penganutnya. Kedua, agama berfungsi sebagai penyempurna tradisi menumbuhkembangkan syi’ar agama yang terus menerus bergulir sepanjang masa menuju kepada kesempurnaan hidup penganutnya. Ketiga, Game Sasak adalah cara orang Sasak mengamalkan atau menjalankan ibadah agamanya dengan tidak meninggalkan jati diri kesasakannya.

Panca Awit Pinajaran Sasak yang terakhir adalah, dalam berAdat istiadat, juga menganut lima dasar dan unsur. Pertama, adat istiadat adalah cara hidup dan kehidupan bagi mahluk yang berbudaya dalam menegakkan perintah Tuhan. Kedua, agama dijunjung serta dihiasi dengan tradisi pada wadah yang suci, diperkuat dengan adat istiadat yang adi luhung. Ketiga, adat istiadat adi luhung, merupkan adat istiadat melalui tatanan yang kuat dalam menegakkan tradisi agama melalui awik-awik yang dimiliki. Keempat, adat istiadat muara akhir dari Pinajaran Sasak. Dan kelima, adat istiadat pada orang Sasak menjadi salah satu unsur dalam pembentukan karakter dan jati diri orang Sasak dalam hidup dan kehidupannya.

“Sebagai manusia yang bahru, saya mengingatkan, siapa tahu diantara kita sudah melupakan Pinjaaran Sasak yang demikian adi luhung itu”, pungkas budayawan yang pernah berkeliling negara Eropa dan Asia, hanya untuk kunjungan wisata dan budayanya.

Keempat, orang Sasak mengenal agama setelah masuknya Islam. Orang Sasak menurut sejarahnya, tidak pernah menganut agama selain Islam. Kelima, agama pada orang Sasak menjadi salah satu unsur dalam pembentukan karakter dan jati diri orang Sasak dalam hidup dan kehidupannya. Diterangkan juga dalam berbudaya, Menganut lima unsur dasar. Pertama, budaya dalam Pinajaran Sasak adalah, cipta, rasa dan karsa orang Sasak dalam rangka membumikan, mengaplikasikan atau mengamalkan perintah Tuhan yang diterima melalui tradisi dan agama. Kedua, tidak sebesar zaharpun budaya Sasak bertentangan dengan agama.

Bila budaya Sasak nampak bertentangan dengan agama, maka hal itu bukanlan budaya Sasak, melainkan ‘perilaku’ orang Sasak yang tidak mengerti budayanya. Ketiga, budaya dikembangkan untuk melestarikan agama. Keempt, budaya sebagai pembeda manusia dengan mahluk lainnya. Kelima, budaya pada orang Sasak menjadi salah satu unsur dalam pembentukan karakter dan jati diri orang Sasak dalam hidup dan kehidupan. **