
LOMBOKita – Psikologi politik dimaknai studi yang berupaya memahami proses mental yang mendasari penilaian dan pengambilan keputusan dalam politik (Kuklinski, 2002).
Psikologi politik adalah bidang akademik interdisipliner, yang didedikasikan untuk memahami politik, politisi dan perilaku politik dari perspektif psikologis, dan proses psikologis menggunakan perspektif sosial-politik.
Psikologi politik hasil perkawinan ilmu psikologi dan ilmu politik. Karenanya, keduanya dapat saling mempengaruhi : proses psikologi mempengaruhi proses politik dan proses politik mempengaruhi proses psikologi. Cikal bakal perkawinan kedua ilmu ini sejak Graham Wallas (1910) dengan karya klasiknya : Human Nature in Politics.
Ilmuwan politik, Apter (1977), mensistemasi analisis politik ke dalam beberapa pendekatan, yakni : filsafat politik, membicarakan hakikat politik (kekuasaan, moral, juga tujuan politik) dari sejak Plato hingga filsuf politik kontemporer.
Pendekatan institutionalism, dikenal sebagai studi tentang institusi pemerintahan (government), termasuk sistem politik, kepartaian dan sistem pemerintahan.
Pluralism, berbicara tentang demokrasi dan interaksi sosial.
Structuralism, lebih dekat ke sosiologi politik, dimana analisis lebih banyak diletakkan pada kelas sosial. Dan, developmentalism, berbicara tentang perubahan, perkembangan dari suatu sistem politik.
Terakhir, behavioralism. Bila kelima pendekatan sebelumnya menitikberatkan aspek makro (system), maka analisis perilaku (behavior) melihat aktor atau manusia, baik perorangan atau kelompok sebagai perhatian utama.
Pendekatan behavioralism ini yang kemudian membuka pintu berkembangnya psikologi politik hingga saat ini.
Mengapa psikologi politik diperlukan?
Pertama, sebagus apapun sistem politik, pada akhirnya dijalankan oleh manusia. Analisis tentang aspek politik dan kaitan dengan faktor kepribadian dalam psikologi politik, disebut personality and politics.
Kedua, dinamika politik kontemporer banyak ditentukan struktur perilaku yang ditangkap sebagai gejala sikap-sikap politik, seperti pemberian suara dalam pemilu, juga yang dianggap penting dalam sistem politik dan kepartaian, yakni ideologi, sejatinya adalah masalah perilaku.
Ketiga, dalam politik, dinamika perilaku para aktor politik adalah sangat menentukan, disinilah psikologi politik menemukan relevansinya.
Berdasarkan ulasan singkat di atas, maka dapat dikatakan bahwa psikologi bisa digunakan sebagai alat prediktif perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Namun, belakangan psikologi politik jarang mendapat perhatian sebagai alat prediktif tersebut. Padahal psikologi politik dapat memberikan kontribusi positif sesuai tuntutan zaman terkini.
Ada nasehat dari Gandhi, “politik tanpa prinsip akan menghasilkan dosa sosial yang sungguh berat dampaknya di kemudian hari”. Artinya, mungkin psikologi politik dapat memberikan sedikit warna untuk mempertegas prinsip politik tersebut.
Di samping itu, karena waktu juga terus bergerak maju ke depan, maka berbicara perubahan pasti akan terus terjadi. Artinya, perubahan sosial akan terus terjadi seiring tuntutan zaman (zeitgeist), maka untuk menghindari dosa sosial sebagaimana kata Gandhi di atas.
Jadi solusinya, kita harus sering memperhatikan sekaligus menggunakan peran ilmu pengetahuan yang telah di integrasikan seperti psikologi politik ini.
Semoga ulasan singkat ini dapat membuka sedikit wacana mengenai pentingnya peran psikologi politik dalam perubahan sosial ke arah yang lebih baik.