
LOMBOKita- Ratusan santri dan santriwati bersama GP Ansor di Nusa Tenggara Barat berunjuk rasa menolak rencana pelaksanaan lima hari sekolah.
Dalam aksi yang dilakukan di depan Kantor Gubernur NTB itu, para santri dan santriwati menegaskan menolak Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah.
“Kami para santri dan santriwati serta seluruh warga NU di NTB menolak rencana pemerintah yang akan memberlakukan lima hari sekolah atau ‘full day school’ (FDS),” kata Ketua GP Ansor NTB Zamroni Azis saat berorasi di depan Kantor Gubernur NTB di Mataram, Rabu.
Menurut Zamroni Azis, pelaksanaan FDS dinilai berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi dunia pendidikan di tanah air, tidak hanya kepada siswa secara langsung tetapi juga Madrasah Diniyah, karena tidak sesuai dengan kultur pendidikan yang telah berjalan selama ini.
“Kalau ini diterapkan justru dampaknya sangat buruk bagi dunia pendidikan di Indonesia, karena dapat mengancam eksistensi pondok pesantren. Makanya, kami menolak Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah itu,” ujarnya.
Hal yang sama juga diutarakan Sekretaris PWNU NTB Lalu Winengan yang menyatakan sangat tidak setuju dengan keputusan pemerintah melalui Menteri Pendidikan yang mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah.
“Lima hari sekolah ini sangat membebani para siswa, karena menimbulkan jurang pemisah antara siswa miskin dan siswa kaya serta sekolah negeri dan pondok pesantren. Untuk itu kita meminta pemerintah segera mencabut Permendikbud Nomor 23 tahun 2017,” katanya diiringi sorak-sorak para santri yang berunjuk rasa.
Winengan menegaskan, apabila pemerintah tidak mencabut Permendikbud Nomor 23 tahun 2017, maka pihaknya mengancam akan mendesak PBNU untuk mencabut dukungan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
“Kita ini seperti dijajah oleh pemerintah sendiri dan diadu domba antara NU dan Muhammadiyah,” tegasnya.
Pengunjuk rasa ditemui Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi dan Wakil Gubernur NTB H Muhammad Amin. Pada kesempatan itu, gubernur mengatakan memahami apa yang dirasakan para santri dan santriwati termasuk sejumlah pihak terkait rencana penerapan lima hari sekolah tersebut.
Sebab, sebagai orang yang terlahir dari santri, gubernur berharap pemerintah melalui Menteri Pendidikan memberikan penjelasan sebanyak-banyak tentang penerapan lima hari sekolah itu.
Dalam artian, penjelasan itu tidak diartikan hanya sosialisasi tetapi dalam setiap penjelasan perlu juga didengar sumbangsih pikiran dari masyarakat.
“Apa yang menjadi aspirasi, santri dan santriwati turun ke jalan bukan untuk gagah-gagahan, insya Allah didengar, didiskusikan disilaturahimkan, sehingga didapat titik temu yang baik oleh pemerintah,” jelas gubernur yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) itu.
Namun di sisi lain, gubenur mengajak para santri dan santriwati serta seluruh masyarakat untuk menyikapi isu-isu secara bijak, termasuk isu FDS itu. Artinya, aspirasi yang baik disampaikan secara baik. Karena di situlah jiwa pondok pesantren.
“Memang kadang-kadang, karena ponpes sekian puluh tahun tidak pernah bersuara dianggap tidak ada, karena baiknya, karena ikhlasnya menerima apa yang terjadi maka dianggap tidak ada. Tapi saya berharap cara seperti ini tidak ada lagi. Ponpes walaupun diam di dalamnya ada energi yang luar biasa. Hargai energi itu,” ucapnya.
Selanjutnya, apa menjadi aspirasi para santri, gubernur berjanji akan meneruskannya kepada pemerintah pusat, sehingga dapat didengar dan mendapat keputusan yang baik bagi semuanya.
“Apa yang jadi aspirasi para santri saya terima secara resmi dan saya teruskan untuk disampaikan ke pemerintah pusat,” kata Gubernur NTB. ant