
LOMBOKita – Tiga Direktur Jenderal dari kementerian yang berbeda mengadakan diskusi dengan para petani dan pelaku industri rokok terkait impor tembakau di Desa Pijot Utara Kecamatan Keruak Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Rabu (6/9/2017).
Tiga pejabat negara tersebut adalah Direktur Jenderal (Dirjen) Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang, Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto, dan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Tjahya Widayanti.
Hadir juga Bupati Lombok Timur H Muhammad Ali Bin Dachlan, dan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB H Husnul Fauzi.
Diskusi pertanian dan industri tembakau di Kabupaten Lombok Timur tersebut difasilitasi oleh Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo).
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag Tjahya Widayanti mengatakan pada intinya industri rokok harus didukung mulai dari sisi kesiapan bahan baku, peningkatan daya saing, peningkatan kesejahteraan petani dan perlindungan konsumen.
“Semua itu menjadi pertimbangan untuk kita melakukan suatu kebijakan impor. Itu semua sudah dibahas tinggal beberapa kali rapat untuk membulatkan,” katanya.
Menurut dia, memang ada persyaratan untuk impor. Hal itu akan dirapatkan bersama-sama dan kemudian dilakukan pemetaan terkait dengan kebutuhan industri rokok.
Tjahya menyebutkan kebutuhan tembakau untuk industri rokok mencapai 300 ton per tahun, sedangkan produksi dalam negeri hanya 200 ton, sehingga ada impor sebanyak 100 ton, bahkan lebih.
Jenis tembakau yang diimpor merupakan jenis tertentu yang tidak bisa tumbuh dan dibudidayakan di Indonesia.
“Makanya varietas dari tembakau yang dibutuhkan itu harus dipetakan. Apa yang diimpor, nanti ada rekomendasi dari Kementan dan Kemenperin, bukan melarang impor tapi ada pembatasan,” ujarnya.
Dirjen Perkebunan, Kementan Bambang, mengaku terus mendorong industri rokok untuk membantu petani menghasilkan tembakau sesuai yang diminta. Pasalnya, Indonesia memiliki potensi.
“Kalau sekiranya bisa diproduksi dalam negeri kita tingkatkan produktivitas dan kualitas dengan membina petani secara bersama-sama sehingga tidak bergantung pada impor,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Dirjen Industri Agro, Kemenperin Panggah Susanto. Menurut dia, yang perlu diutamakan adalah bagaimana mendorong produktivitas dalam negeri meningkat.
Jika tiba-tiba dilakukan impor tanpa dibarengi upaya riil di lapangan untuk peningkatan produktivitas lahan, bisa terjadi kontraproduktif atau memberikan kesulitan pada industri rokok.
Namun jika ada perkembangan positif, kata dia, justru bisa dijadikan pemacu.
“Sebenarnya impor berisiko tinggi karena harus ada garansi, biaya transportasi, asuransi dan pergudangan serta risiko lannya. Jadi prinsipnya orang bisnis kalau ada barang didekatnya menguntungkan tentu itu akan diambil,” ujarnya.
Ketua Gaprindo Muhaimin Moeftie, melalui keterangan tertulisnya mengatakan bahwa aturan impor oleh Kementerian Perdagangan akan mengancam industri hasil tembakau yang menopang kehidupan enam juta orang di Indonesia.
Beberapa jenis tembakau tidak dapat tumbuh di Indonesia, atau tidak cukup diproduksi saat ini.
“Ketiadaan atau kelangkaan bahan baku tembakau akan mengancam kegiatan produksi pabrikan,” katanya.