
Utang yang dilakukan pemerintah Indonesia menjadi menghangat setelah muncul isu pemakzulan kepada Presiden Joko Widodo karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Hal itu dipicu pemberitaan sebuah grup media yang mengutip pakar hukum tata negara Ihza Mahendra bahwa masyarakat bisa menggulingkan Presiden Jokowi yang telah melanggar Undang-Undang Keuangan Negara karena total utang pemerintah secara keseluruhan tidak boleh melebih 30 persen dari APBN.
Media tersebut juga menulis bahwa Yusril menyebut utang Indonesia sudah di atas 50 persen dari APBN sehingga Presiden Jokowi telah melanggar ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara sehingga bisa dimakzulkan.
Pemberitaan tersebut akhirnya diklarifikasi langsung oleh Yusril melalui pernyataan yang beredar melalui jejaring sosial. Yusril menilai wartawan media tersebut tidak tepat dalam mengutip pernyataannya.
“Orang lain menulis apa yang saya katakan secara tidak tepat,” tulis Yusril dalam klarifikasinya yang beredar melalui jejaring sosial.
Yusril menjelaskan bahwa Presiden bisa dimakzulkan bila melanggar Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN yang menetapkan jumlah utang atau defisit APBN tidak boleh melampaui batas 30 persen dari total APBN.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah menyatakan bahwa utang atau defisit tahun berjalan 2017 sudah mencapai 28,6 persen, yang berarti sudah mendekati batas maksimum yang ditetapkan undang-undang.
Menurut Yusril, angka 30 persen itu sebenarnya sudah terlampaui bila dana subsidi bahan bakar minyak (BBM) kepada Pertamina atau dana bagi hasil pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang belum dibayarkan juga dibukukan sebagai utang.
Dana subsidi BBM oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani disebut sebagai “talangan” Pertamina. Yusril menyebut dana talangan itu sesungguhnya adalah utang pemerintah kepada Pertamina.
Begitu pula dengan dana bagi hasil kepada pemerintah daerah yang berasal dari pendapatan minyak dan gas bumi serta sumber daya alam lain yang sejak 2016 masih ditahan, sebenarnya adalah utang pemerintah pusat.
Pemerintah pusat tidak pernah mengakui atau menyebut dana talangan Pertamina atau dana bagi hasil kepada pemerintah daerah yang belum dibayar itu sebagai utang. Bila semua itu dibukukan dan diakui sebagai utang, utang atau defisit APBN 2017 sudah melampaui batas 30 persen, bahkan mungkin lebih dari 50 persen.
“Itu yang saya sampaikan untuk mengingatkan pemerintah tentang situasi keuangan negara saat ini,” jelas Yusril.
Masih Aman Pada Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 yang diadakan di Jakarta, Kamis (27/7), disebutkan bahwa rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto saat ini masih aman, yaitu di bawah 30 persen dan defisit APBN di kisaran 2,5 persen.
Diskusi tersebut mendatangkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong sebagai narasumber.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan utang pemerintah Indonesia bila dibandingkan masih di bawah utang negara-negara lain. Utang pemerintah pun untuk membiayai pembangunan yang dapat meningkatkan produktivitas nasional.
Sri Mulyani mengatakan bahwa Indonesia yang memiliki 257 juta jiwa penduduk memiliki tantangan karena mayoritas penduduknya berusia muda. Oleh karena itu, investasi di bidang sumber daya manusia tidak bisa ditunda.
“Lebih dari 60 persen penduduk kita berusia muda. Padahal, indeks pembangunan manusia kita masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara lain. Kita masih di bawah 70, sementara negara lain sudah di atas 73,” katanya.
Begitu pula keberadaan kelompok masyarakat miskin di Indonesia yang memerlukan intervensi dari pemerintah. Intervensi pemerintah diperlukan untuk mengeluarkan mereka dari siklus kemiskinan.
Dari segi infrastruktur, Indonesia juga termasuk yang terendah. Bila dibandingkan negara-negara G20, indeks infrastruktur Indonesia, Indonesia cukup jauh tertinggal.
“Pada tahun 1990, indeks infrastruktur kita 60 persen dari pendapatan domestik bruto. Krisis ekonomi 1997 memakan APBN kita untuk penyelamatan perekonomian sehingga infrastruktur tidak berkembang,” tuturnya.
Karena tidak ada investasi di bidang infrastruktur, sementara pendapatan domestik bruto terus meningkat, akhirnya indeks infrastruktur Indonesia pun semakin rendah, hingga hanya 30 persen.
“Pendapatan domestik bruto tumbuh, sementara investasi infrastruktur nol. Padahal, kebutuhan infrastruktur itu nyata,” ujarnya.
Karena penerimaan negara dari pajak tidak cukup untuk membiayai investasi di bidang sumber daya manusia dan infrastruktur, akhirnya utang menjadi salah satu pilihan.
Posisi utang pemerintah pusat hingga Juni 2017 sebesar Rp3.706 triliun, terdiri atas pinjaman Rp727 triliun dan surat berharga negara Rp2.979 triliun Sri Mulyani menyebut Direktorat Jenderal Pajak sempat meminta agar belanja negara diturunkan saat target penerimaan negara dari pajak ditingkatkan.
“Saya jawab tidak bisa karena belanja negara tidak bisa diturunkan. Penurunan belanja negara akan memengaruhi perekonomian kita. Bahwa pemerintah tetap perlu menjaga belanja supaya efisien itu benar, dan itu yang kami lakukan terus-menerus,” katanya.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa penambahan utang pemerintah pada periode 2012 s.d. 2014 mencapai Rp609,5 triliun. Sementara itu, dalam kurun waktu 2015 s.d. 2017, penambahan utang hampir Rp1.166 triliun.
Namun, Sri Mulyani menegaskan penambahan utang pada tahun 2015 s.d. 2017 untuk belanja pemerintah yang lebih agresif untuk infrastruktur, perlindungan sosial, dana alokasi khusus fisik, dan dana desa.
Dengan penambahan utang tersebut, Sri Mulyani menyebut belanja infrastruktur pada tahun 2015 s.d. 2017 meningkat dua kali lipat dibandingkan periode 2012 s.d. 2014.
“Dilihat dari akumulasi perubahan utang dan penggunanaanya, itu masih menggambarkan bahwa utang tersebut untuk hal-hal yang sifatnya produktif,” katanya.
Belanja infrastruktur terlihat pada hasil yang telah dikerjakan pemerintah, antara lain, pembangunan 2.528 kilometer jalan nontol pada tahun 2016 dan target 2.571 kilometer pada tahun 2017, sembilan bandar udara baru, 37 bendungan, dan 111.000 unit rumah untuk masyarakat golongan rendah (realisasi 2016).
Asal Produktif Sementara itu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong mengatakan bahwa utang yang dilakukan pemerintah tidak masalah asal untuk membiayai kegiatan yang produktif.
“Dari sisi investor yang dilihat bukan utangnya, melainkan dipakai untuk apa. Tidak masalah kalau untuk memunculkan produktivitas, seperti pembangunan infrastruktur, pemenuhan gizi anak dan ibu hamil,” kata Thomas.
Pandangan berbeda akan muncul apabila utang yang dilakukan pemerintah untuk foya-foya, misalnya untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Thomas menilai penggunaan utang untuk subsidi BBM ibarat “membakar uang dalam tangki bensin”.
“Kalau untuk membangun infrastruktur, akan meningkatkan akses transportasi dan menurunkan biaya logistik,” ujarnya.
Thomas mengatakan bahwa pemerintah tengah berupaya meningkatkan investasi. Masalahnya, ada yang berpikir investasi dari luar negeri itu selalu berupa utang.
Menurut Thomas, itu tidak benar. Investasi bisa saja berupa modal tetap, bukan utang yang akan jatuh tempo.
“Investasi bisa berupa penanaman modal yang permanen. Investasi seperti ini cenderung dilakukan pada sektor-sektor yang bisa memberikan nilai tambah,” tuturnya.
Oleh karena itu, Thomas menganggap tuduhan bahwa pemerintah Indonesia memiliki utang yang sangat tinggi sebagai sesuatu yang konyol. Apalagi, di tengah peringkat Indonesia yang dinilai meningkat oleh lembaga pemeringkat internasional.
“Lembaga pemeringkat itu penilaiannya sangat kejam dan ketat. Amerika Serikat saja peringkatnya diturunkan. Oleh karena itu, kritik tentang utang tinggi itu ibarat orang baru menang lari maraton tetapi dikritik kurang atletis,” katanya. ant